pendidikan dari pinggiran.. posted by Hasnan Bachtiar.
oleh Widad Dalil Ad-da'im pada 16 Oktober 2011 pukul 10:56
Kalau sudah begitu, pendidikan yang memberikan “jarak” dari kehidupan, menjadi semacam kematian pendidikan. Hal ini jauh dari segala tujuan yang mendasar, yaitu mengajarkan kehidupan dan praktik hidup yang baik, yang paling nyata. Padahal semestinya, pendidikan itu urip lan nguripi. Pendidikan itu kehidupan dan bagaimana menghidupi atau bertahan hidup (N.V.S. Grundtvig, Selected Writings. 1976: 140-41).
Disadari atau tidak, penguasa kebijakan pendidikan saat ini adalah penganut idealisme. Menetapkan ide-ide kepada guru-guru yang polos. Sedangkan imbasnya, siswa didik ikhlas menerima dengan legawa, serangkaian takdir pendidikan yang nestapa.
Sebenarnya, ide-ide pendidikan adalah kreativitas komunitas intelektual (Jakarta), yang tidak tahu-menahu pasal kebutuhan hidup yang paling nyata. Dengan kata lain, “pinggiran Indonesia” yang sangat luas, sejumlah lebih dari 240 juta jiwa, 18.000 pulau-pulau dan multikultural, dianggap “kurang berpengetahuan” oleh sekelompok kecil orang. Paling tidak, tersingkir potensi intelektualnya.
Ada ilustrasi kasuistik, di mana pendidikan kita, memang berjarak sangat jauh dengan realitas keseharian manusia yang hidup. Seorang anak sekolah dasar sepulang sekolah seperti berputus-asa, karena merasa menjadi manusia yang tak berguna. Mengadu pada orangtuanya, untuk apa belajar tata negara yang sangat rumit kalau itu memang tidak diperlukan. “Untuk wawasan,” tutur pengajarnya. Terlalu muluk dan idealistis kalau itu benar adanya. Ini belum soal kerumitan moral dan politik bangsa yang berwajah muram.
Pada matapelajaran sejarah pun demikian. Apakah anak didik hendak diajar untuk tahu dan mengambil makna dari sejarah? Tentu tidak. Karena banyak hal tidak dibicarakan secara jujur. Soal sejarah Indonesia yang mestinya kita “terbuka” bahwa Indonesia setiap zaman hanya menanggung beban penjajahan dan penderitaan. Padahal, sejarah bukan hanya masa lalu, namun masa kini dan masa depan.
Pelajaran bahasa Indonesia mengalami nasib yang sama. “Adik-adik belajar apa, di kelas Bahasa Indonesia?” Jawab mereka, “Kami belajar majas sinekdoke totem pro pars, ini, itu dan besok harus hafal seratus deret teori dan konsep lainnya?” Luar biasa. Memang jauh dari tujuan berbahasa Indonesia yang baik. Semestinya sederhana yang harus ditata, yaitu berbudaya berbahasa santun dan bisa mengarang. Lagipula ini belum termasuk kesantuan keseharian di daerah masing-masing.
Tidak berbeda dengan pengajaran disiplin ilmu sosial lainnya, yang terangkum sebagai Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Seolah antropologi, ekonomi, geografi, hukum, pendidikan, politik, sejarah dan sosiologi, wajib ditelan matang oleh anak sekolahan. Jelas, terjadi penyederhanaan besar-besaran ilmu sosial dan humaniora menjadi IPS. Para intelektual ibu kota yang mengaku pakar, bukan tidak paham kalau yang mendesak diambil manfaatnya dari ilmu sosial, hanyalah solusi bagi masalah sosial yang sedang terjadi. Akan dianggap lucu kiranya ada yang mengusulkan, IPS diganti dengan matapelajaran “bertahan hidup di jalanan” bagi siswa didik anak jalanan.
Potret masyarakat dari dekat inilah, yang gagal dipahami bersama. Lagipula ini bukan sekedar persoalan metode pengajaran, tetapi juga filsafat pendidikan, kebudayaan, struktur kekuasaan dan kebijakan publik.
Pemilik kebijakan bekerja atas dasar kejar deadline atau sekedar menggugurkan kewajiban. Sementara itu, para pendidik mendapat permakluman, seolah mereka tak berdaya dengan garis-garis ketentuan kekuasaan. Imbasnya, putra putri masa depan bangsa terlahir sebagai manusia-manusia tukang pasrah (fatalis) dan tidak mampu survive menantang zaman. Dalam bahasa WS. Rendra, pendidikan di Indonsia seperti pabrik yang memproduksi “angkatan pongah”, karena tidak menguasai tata buku masa lalu dan tata buku masa depan.
Tidak bisa dipungkiri, kerumitan masalah bangsa turut menggilas kemanusiaan pemerintah. Khususnya mereka yang berkecimpung di dunia didik-mendidik. Mungkin hal ini dihitung sebagai faktor eksternal. Namun hingga hari ini, bangsa ini penuh dengan ilmuan pendidikan yang alpa filsafat pendidikan. Ujung-ujungnya, paradigma idealisme menjadi semacam penyakit yang mewabah di seluruh lini pendidikan.
Sudah lama sekali, Indonesia tidak punya pedagog kritis. Tidak ada ahli kebudayaan, kemanusiaan dan pendidikan sekaligus, yang bisa menjadi rujukan seluruh umat pendidikan. Kalaupun ada, maka penguasa belum berkenan, karena tidak bisa mendatangkan keuntungan secara instan. Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari, YB. Mangunwijaya, hingga HAR Tilaar beserta ajaran-ajarannya hanya menjadi buku-buku yang lapuk dan tidak populer.
Seandainya mau jujur dengan hati yang terdalam, para pedagog sekaligus pejuang kemanusiaan ini adalah guru-guru di daerah-daerah dan kita semua. Seluruh pendidik, barangkali nuraninya memahami atas “apa yang paling dibutuhkan dan memanusiakan manusia” bagi anak didiknya. Berkawan, bersahabat, dan belajar dari peserta didik dan lingkungan sekitar sehari-hari, adalah kependidikan yang sejati.
Pedagogi kemanusiaan adalah mendidik tanpa jarak. Kita tidak perlu garis-garis besar pendidikan dari penguasa, karena tidak ada yang paling pintar di antara manusia satu sama lain. Di hadapan ilmu, semua manusia adalah murid. Dengan demikian, paradigma idealisme pendidikan hendaknya dirubah. Sentralitas pola pikir idealisme yang diterapkan dengan mengabaikan realitas materialistik, diubah dengan menitikberatkan kependidikan pada soal-soal keseharian lingkungan sosial yang paling sederhana.
Kiranya, usulan gagasan ini adalah strategi kebudayaan, yaitu memahami manusia dan pendidikan secara fenomenologis atau dari jarak terdekatnya. Jika pendidikan menjadi bagian dari kebudayaan setempat, akan memberi sumbangan yang besar yang paling nyata. Ruh keindonesiaan, kepemimpinan, kesantunan, pikiran yang positif dan optimis, serta gairah hidup yang tinggi, dapat dijadikan sebagai isi dalam mengiringi aktivitas kependidikan ini.
Jika ada pertanyaan, “Apakah Indonesia telah gagal?” Kita akan dengan tegas menjawab, “Indonesia akan berhasil.” Kerumitan problem kebangsaan, akan berangsur pulih melalui pendidikan, asal juga menggeser paradigma filsafat pendidikan idealistik-postif, menjadi fenomenologis-humanistik.
Sebagai penutup dari tulisan ini, seorang filsuf India kontemporer, Gayatri Chakravorty Spivak (1988: 271-313), pernah mengajukan problem bahwa, “Dapatkah pinggiran berbicara?” Sebenarnya, justru pinggiranlah yang mestinya didengarkan. Karena itu, dari pinggiran, Indonesia menjadi kuat.
"widad dalil da'im"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar